
Aksi ini bertujuan untuk memprotes tingginya potongan yang diterapkan oleh aplikasi ojol.
Namun, situasi berbeda terjadi di Bali.
Para pengemudi ojol di Pulau Dewata memilih untuk tidak ikut serta dalam aksi demonstrasi tersebut.
Mereka merasa bahwa mematikan aplikasi sama dengan mengorbankan penghidupan mereka.
Rengga Abadi, seorang pengemudi ojol yang beroperasi di area Kuta dan Seminyak, menjelaskan bahwa para driver di Bali memiliki pandangan yang berbeda dibandingkan dengan rekan-rekannya di Jakarta.
“Sejauh yang saya tahu, driver-driver (ojol) Bali jauh dari hal-hal semacam itu (demo). Market driver di sini sama di Jakarta kan memang beda ya. Kami yang di sini bersyukur aja tetep kerja,” ujarnya.
Rengga menambahkan bahwa pelanggan di Jakarta didominasi pekerja, pelajar, dan mahasiswa, sementara di Bali lebih banyak wisatawan yang datang dan pergi.
“Terlebih ada budaya tipping kalau wisatawan asing. Biaya hidup di sini juga gak semahal di Jakarta. Kami yang di Bali kan tipikal yang gak mau ribet, gak mau ribut. Chill aja hehe,” kata dia.
Dengan pertimbangan tersebut, Rengga merasa tidak ada alasan cukup kuat untuk ikut dalam aksi demo.
Jika ada masalah, ia lebih memilih untuk menyampaikannya melalui platform kopdar.
Ia juga mengungkapkan bahwa pendapatannya sebagai pengemudi ojol masih di atas UMR Bali, dan tipping dari wisatawan asing berpengaruh besar terhadap penghasilannya.
“Perkara potongan berapa persen pun asal kita giat pasti ada hasil kok,” tambahnya.
Sementara itu, Ni Ketut Budiasih, yang pernah menjadi pengemudi ojol, mengungkapkan keberatannya terhadap potongan yang besar dan terkadang tidak masuk akal.
Ia memilih untuk menyiasati hal ini dengan memilih orderan yang tidak merugikan driver.
“Suami saya gak akan ikut begituan. Tetep kerja. Kalau gak, yang ada malah kami gak jadi makan,” kata Budiasih.
Budiasih juga menyampaikan bahwa ia telah mengungkapkan protesnya saat kopdar, namun masukan tersebut hanya didengar dan ditampung tanpa ada solusi nyata dari pihak perusahaan.