Str. Name 1
May 09, 2025
11 11 11 AM

BO55 – Cerita Ketut Budiarta soal Pengalaman Pecalang di Bali, Tulus Ngayah untuk Adat

I Ketut Budiarta, seorang pecalang berusia 49 tahun, menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi di Desa Adat Cemenggoan, Kabupaten Gianyar.

Lihat Foto

Ketut Budiarta, seorang pecalang berusia 49 tahun, menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi di Desa Adat Cemenggoan, Kabupaten Gianyar.

Mengenakan kemeja hitam, kacamata hitam, dan saput poleng (hitam putih), Budiarta telah mengabdikan diri sebagai pecalang sejak 2016 hingga 2021.

Budiarta menegaskan bahwa menjadi pecalang bukan sekadar tugas pengamanan, melainkan bentuk pengabdian tulus untuk desa.

“Kami tidak digaji. Seandainya ada dana operasional, itu biasanya untuk konsumsi selama kami bertugas di lapangan. Karena memang tulus ngayah untuk desa kami,” ujarnya pada Selasa (6/5/2025).

Di Desa Adat Cemenggoan, pemilihan pecalang dilakukan berdasarkan tempekan, dengan total tiga tempekan yang masing-masing memilih lima orang.

Dengan demikian, terdapat 15 pecalang yang bertugas secara bergiliran setiap lima tahun.

Warga yang telah resmi menjadi anggota desa adat atau banjar berhak dipilih sebagai pecalang.

Setelah terpilih, mereka diumumkan secara resmi dan diberikan seragam khusus.

“Dulu saya mendata para pendatang, di kos-kosan. Termasuk mengambil iuran per bulan Rp 15 ribu untuk penduduk non-Bali dan Rp 10 ribu bagi warga wilayah luar. Itu bukan pungli ya,” ujarnya.

Pendataan ini membantu Budiarta mengetahui siapa saja yang tinggal di wilayahnya, sehingga ia dapat berkoordinasi dengan Limas dan pimpinan adat jika ada masalah.

Budiarta, yang juga bekerja sebagai sekuriti di Telkom wilayah Ubud, meyakini bahwa sistem keamanan pecalang di Bali sangat kuat dan terkoordinasi dengan baik.

Setiap pecalang juga mendapatkan pelatihan khusus, termasuk pelatihan dasar lalu lintas.

“Orang lokal lah yang paling tahu bagaimana kondisi wilayahnya. Tidak bisa orang luar atau ormas luar ujug-ujug datang. Setiap desa adat di Bali beda-beda itu aturannya,” tegasnya.

Sebagai Ketua Saba Kertha Desa Adat Cemenggoan, Budiarta menegaskan bahwa desanya telah memutuskan untuk melarang masuknya organisasi masyarakat (ormas) dari luar, termasuk ormas yang sudah ada di Bali.

“Pokoknya yang dari luar wilayah kami, tidak boleh. Kami sangat siap dengan paguyuban kami untuk menjaga Bali. Tokoh masyarakat juga siap!” imbuhnya.

Pernyataan ini muncul di tengah meningkatnya penolakan terhadap ormas Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya yang mengeklaim ingin menjaga keamanan Bali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *