
Bali kini semakin menggalakkan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.
Cara ini dinilai merupakan solusi paling efektif untuk menangani tingginya kebutuhan listrik di Pulau Dewata.
Ketika pemerintah baru memulai, Dokter Alit justru telah menerapkannya sejak puluhan tahun yang lalu, walaupun saat itu masih dalam skala kecil.
“Saya sejak 25 tahun lalu, saat masih bertugas di daerah terpencil di Sulawesi, sudah memakai PLTS kecil. Supaya go green dan rumah terjamin selalu tersedia listrik,” ujarnya, Sabtu (24/5/2025).
Pemilik nama lengkap Dr. dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa, SpAN-TI, Subsp. AR(K), FIP ini termasuk satu di antara sedikitnya warga Bali yang menggunakan PLTS Atap skala rumah tangga.
Tak main-main, kini total investasi yang telah dikeluarkannya mencapai hampir Rp 300 juta.
Biaya yang dikeluarkan untuk menerapkan PLTS Atap skala rumah tangga sesungguhnya bervariasi, tergantung kebutuhan listrik masing-masing.
Sehingga tidak bisa dibuat standar pembiayaan. Bisa jadi pula kurang dari Rp 60 juta.
Saat ini, Dokter Alit belum sepenuhnya memanfaatkan PLTS Atap, sebab cuaca kurang mendukung. Belakangan ini, Bali memang kerap diguyur hujan. Apabila cuaca cerah, dia bisa 100 persen memanfaatkan PLTS Atap.
Namun saat musim hujan, biasanya 60 persen dari PLTS dan 40 persen dari PLN.
“Jadi sumber utama listrik saya dari PLTS dan PLN sebagai backup, karena saya memakai sistem off-grid,” ucapnya.
Dia cukup menyayangkan bahwa regulasi di Indonesia tentang PLTS belum berpihak kepada pengguna, sebagaimana di sejumlah negara lain.
Menurutnya, seharusnya pemerintah merevisi peraturan yang membatasi pemakaian PLTS dengan sistem on-grid.
Selain itu, semestinya dibuka sistem ekspor listrik yang dihasilkan PLTS ke jaringan PLN.
“Istilahnya kita menjual listriknya ke PLN. Tapi hal ini tidak bisa lagi di Indonesia,” imbuhnya.