Buleleng, Provinsi Bali, sedang panas-panasnya. Keringat bercucuran membasahi kaus lima orang anggota TNI yang tengah bekerja.
Meski terik begitu menyengat, mereka terlihat serius, membangunkan sebuah rumah untuk warga.
Para prajurit TNI itu mengayunkan cangkul hingga mengaduk semen, demi mengubah rumah menjadi layak huni, lengkap dengan fasilitas sanitasinya.
Di antara para prajurit yang berbaju loreng, terdapat seorang pria paruh baya ikut bekerja. Pria tersebut adalah Gede Kandia. Ia adalah pemilik rumah yang sedang diperbaiki.
Terlihat jelas raut kebahagiaan di wajah Kandia yang mulai keriput. Senyumnya terus mengembang. Syukur tak henti terucap dari mulut pria 54 tahun itu.
Bagaimana tidak? Selama bertahun-tahun dia harus menjalani hidup berpindah-pindah. Sejak tahun 1982, Kandia dan keluarganya hidup dalam keterbatasan.
Karena tak memiliki rumah, Kandia dan keluarganya harus berpindah-pindah. Ia menempati kebun milik orang lain sambil bekerja merawat kebun tersebut.
Pada tahun 1997, bantuan datang dari Desa Adat Depeha yang mengizinkan ia dan keluarganya menempati rumah adat. Sejak saat itu, mereka menetap, namun belum memiliki rumah sendiri.
Pada tahun 2019, Kandia membeli sebidang tanah seluas 2 are. Di tanah itu ia membangun gubuk kecil di tengah-tengah kebun mangga. Gubuk itu ia digunakan untuk istirahat di sela bekerja.
“Kalau di sini hanya sebagai pondokan untuk istirahat saat mengurus ternak. Karena tidak ada listrik maupun air. Untuk tidur, saya menumpang di rumah keluarga,” tuturnya pada Kompas.com pertengahan Mei 2025 lalu.
Pendapatannya sebagai buruh perkebunan jauh dari cukup untuk membangun rumah. Bekerja serabutan, ia hanya menerima upah Rp 100.000 per hari. Itupun tidak menentu.