
Sebagai penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Mpokgaga tidak ingin selamanya tenggelam dalam masa lalu.
Telah dua buku diterbitkannya. Keduanya terinspirasi dari kisah nyata.
Buku pertama dari trilogi Amigdala berjudul “Amigdala: Perjalanan Merepresi Memori”, diluncurkan pada April 2020.
Karya kedua, “Amigdala: Residu Yang Bersemayam”.
Sesungguhnya, buku kedua telah dirilis tahun 2024, tetapi Mpokgaga baru lebih aktif mengenalkan karya kepada publik tahun ini.
Dia telah menetap di Ubud, Kabupaten Gianyar sejak 2021.
Melalui buku tersebut, Mpokgaga ingin membagikan cerita, tidak hanya dari sudut pandang (POV) korban, tetapi juga sudut pandang pelaku.
“Semoga bisa membantu pembaca maupun calon pembaca untuk bisa mulai belajar mengidentifikasi apabila ada, atau mengalami kekerasan, baik secara verbal maupun fisik,” ucapnya, Rabu (21/5/2025).
Mpokgaga menekankan bahwa karya-karyanya bukan “based on true story”, melainkan “inspired by true story”.
Dengan menuangkannya dalam bentuk tulisan, dia merasa cukup terbantu untuk mengobati diri dari kekerasan yang pernah dialaminya.
Meskipun begitu, proses menuliskannya pun tidak mudah bagi Mpokgaga.
Dia harus mengingat kembali hal-hal yang pernah dialami dan seakan dibawa kembali ke kejadian di masa lalu.
Ketika merasa kewalahan, Mpokgaga pun berhenti sejenak dan mengambil jarak.
“Step off dulu. Jalan kaki, nyeker. Apa pun itu, harus detach dulu supaya bisa balik waras dan obyektif,” ujarnya.